7 Januari 2013

Sarang para Badut




  Belum lama di samping rumah saya lagi-lagi dibuka,pusat perbelanjaan besar entah apakah saya harus senang atau miris melihat hamparan sawah, lapangan bola dan kali yang dulu jadi tempat bermain kami di sulap oleh para Raja-Raja lebah Rakus itu untuk dijadikan pusat perelanjaan terbesar se-Asia Tenggara (Katanya). Tadi siang banyak, saya melihat wajah-wajah muda orang kampung yang terlihat sangat bahagia dan bangga dengan kemeja merah jambunya yang belakangan saya tahu dari teman saya itu adalah salah satu seragam di Mall tersebut. Yah inilah mungkin salah satu unsur yang bisa sedikit membuat saya senang. banyak Pemuda kampung yang saya rasa seusia saya terserap tenaga kerjanya oleh Sarang lebah tersebut. Setidaknya pemandangan ini jauh lebih baik dibandingkan pemandangan di lingkungan kontrakan saya di daerah Rwmngn. kami waga pribumi memang kaum kecil, hanya di tempatkan sebagai pelayan atau bahkan mungkin Tukang bersih-bersih di sarang tersebut. Belum lama Mama dan adik saya cerita bahwa sempat mengunjungi sarang tersebut bersama rombongan warga kampung lainnya, antusias warga kampng sangat tinggi yaaa walau hanya untuk melihat-lihat saja acara launching pembukaan tersebut. Tak ada, tak ada yang mampu mereka beli karena memang Sarang ini memang bukan di peruntukan untuk kami para koloni semut merah, bahkan bermimpi untuk mempunyai salah satu yang di hias di balik kaca mewah itu saja kami tak berani. yapp... faktor inilah yang mungkin membuat saya agak merasa miris dimana jurang kesenjangan sosial semakin lebar dan tinggi. Bayangkan saja dari gubuk kakek-kakek pembakar sampah kampung yang hanya di terangi bohlam lima watt, terlihat gedung-gedung indah bertaburkan ribuan watt lampu yang sangat memanjakan mata, membuat iri siapa saja yang melihat, juga membuat angan-angan terbang ngawur kesana-kesini mengkhayal untuk tinggal di gedung itu. Ini kenyataan yang saya lihat mereka(para Lebah) menyulap semua yang kami punya hektaran sawah, belasan kerbau pembajak, puluhan kambing ternak. Menjadi kawasan super elite ini, tidak saya tidak sepenuhnya menyalahkan lebah dalam hal ini karena memang para lebah sudah mengganti semua yang kami punya dengan madu-madu yang sangat menggiurkan dan memabukkan kami (sesaat).

     Dan inilah yang harus kami bayar kami harus pergi dari kampung tempat kami dilahirkan dan di besarkan. Lalu mereka para lebah menjadikan kami “Pembantu” di tanah kami sendiri Dan.. Aku tdak suka ini, malam hari aku lihat beberapa perempuan dengan make up sangat tebal pulang dengan muka letih dan badan yang tak kalah loyonya. Siapa yang salah dalah hal ini ?  bukannya kita tidak pernah se-loyo ini ketika sawah kita masih terhampar begitu luasnya, ketika kambing2 dan sapi2 kita masih dengan lahapnya makan di Lapangan kita tidak pernah seprti ini. Setidaknya kita tidak di pernah di bentak atau diperass tenaganya bak Sapi perah.

   Tapi apa mau kata Para Lebah sudah mendirikan sarang-sarang mereka yang begitu megah mewah dan menawan di hamparan tanah kami mereka pun sudah membayarnya, untuk itu kami harus merelakan Tanah moyang kami di ambil alih oleh mereka J

Jeprat Jepret

Jeprat Jepret